Bulan rowah jangan diitung – itung
baca rawinye kudu pelan – pelan
aye malu ame arwah bang pitung
kalo orang betawi ga bisa ngaji sama maen pukulan
TRADISI BETAWI
Pernikahan merupakan salah satu ritual yang dianggap cukup penting sebagai bagian dari kelengkapan hidup manusia. Menurut Duvall dan Miller (1985), "Pernikahan bukan semata-mata legalisasi dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan, tetapi lebih dari itu pernikahan merupakan ikatan lahir batin dalam membina kehidupan keluarga". Membahas tentang pernikahan, tentu tak lepas dari pengaruh adat istiadat setempat yang memuat berbagai aturan-aturan tertentu ke dalam syarat upacara.
Palang pintu merupakan satu adat istiadat pernikahan yang masih cukup kuat dijalani masyarakat Betawi. Suku yang mendiami wilayah Jakarta dan sekitarnya ini memiliki serangkaian sakral dari rukun adat pernikahan. Menurut masyarakat Betawi, upacara pernikahan bertujuan untuk memenuhi kewajiban dan perintah norma agama, yaitu Islam yang banyak dianut warga Betawi. Adanya rangkaian upacara pernikahan pada adat Betawi dimaksudkan untuk memberi pesan kepada masyarakat bahwa pernikahan adalah ikatan ritual yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Oleh sebab itu, ada beberapa tahapan persyaratan tertentu yang harus dilakukan oleh pasangan pengantin saat melangsungkan prosesi pernikahan.
Palang Pintu
Istilah Palang Pintu ditinjau dari sisi etimologis didefinisikan dari dua kata Palang dan Pintu. Palang berarti penghalang agar siapapun tidak mudah untuk lewat, sementara Pintu adalah akses masuk ke suatu wilayah. Jadi istilah Palang Pintu adalah penghalang untuk siapapun yang akan memasuki pintu atau wilayah (keluarga Betawi).
Meski dalam sejarah belum ada catatan secara pasti sejak kapan Tradisi Palang Pintu ini dimulai, namun tokoh Betawi Si Pitung (1874-1903) sudah menjalani tradisi Palang Pintu itu saat memperistri Aisyah, putri Jawara berjuluk Macan Kemayoran, Murtadho. Konon, Si Pitung berhasil menundukkan perlawanan Murtadho yang menjadi Palang Pintu dalam prosesi pernikahan putrinya itu.
Dalam tradisi Betawi, istilah Palang Pintu adalah untuk membuka orang lain yang akan memasuki daerah tertentu dimana suatu daerah mempunyai jawara (penghalang/palang). Tradisi ini biasanya digelar pada acara perkawinan atau besanan. Umumnya, Palang Pintu dalam prosesi perkawinan dilakukan dengan saling adu seni beladiri antara pihak mempelai laki-laki untuk bisa diterima sebagai keluarga oleh pihak mempelai perempuan. Pada hakekatnya, Palang Pintu adalah untuk menghalangi pihak mempelai laki-laki agar memperhatikan norma adat yang berlaku di pihak keluarga mempelai perempuan. Selain itu, pihak mempelai laki-laki juga harus mampu menguasai ilmu agama atau mengaji.
Para penjaga pintu mempelai wanita kemudian membuka percakapan dengan sejumlah pantun yang harus dibalas perwakilan mempelai pria. Dialog pantun dikumandangkan agar mengundang hadirin. Isi pantun biasanya tanya jawab seputar maksud dan tujuan pihak pria. Acara ini dilaksanakan sebelum akad nikah dimulai. Ketika rombongan calon pengantin laki-laki baru tiba di depan kediaman calon pengantin perempuan, rombongan akan dihadang oleh keluarga calon pengantin perempuan. Para jagoan calon pengantin pria harus melawan jagoan dari pihak calon mempelai wanita.
Setelah itu, seorang wakil pengantin perempuan menantang adu silat pihak lelaki sebagai simbol perjuangan mempelai laki-laki untuk menikahi pujaan hatinya. Uniknya, setiap pertarungan silat itu, pihak mempelai wanita pasti dikalahkan oleh jagoan calon pengantin pria.
Selain adu pantun dan silat, calon pengantin pria juga ditantang keahliannya dalam membaca kitab suci Al Quran. Setelah semua ujian dilewati, palang pintu baru dibuka dan dimasuki oleh calon mempelai pria. Jika pihak laki-laki tidak bisa memenuhi syarat-syarat tersebut maka pengantin tersebut dipersilakan pulang kembali dan bisa kembalin datang jika sudah siap.
Cek Video kami di Sanggar Seni Budaya Putra Djakarta